Saturday, June 12, 2010

”TeRbaNg” DiaNtaRa PePoHoNan...


Foto --asli, bukan rekayasa hehehe-- ini adalah bukti bahwa saya pernah ”terbang” diantara pepohonan di perbukitan sekitar Bandung Utara. Waktu itu kantor tempat saya bekerja (yang lama) mengadakan acara outbound yang diadakan rutin setiap tahun. Tahun kemarin pilihan jatuh ke wilayah Bandung Utara, saya lupa euy nama persis tempatnya apa, pokokna mah di Bandung Utara wae lah tempatna :D

Salah satu permainan yang kami ikuti saat itu adalah flying fox. Bagi orang-orang yang sering mengikuti outbound di alam bebas mungkin sudah sangat familiar dengan istilah flying fox ini. Meluncur diantara pepohonan dengan tubuh terikat dan tangan bergantung pada tali yang juga diikatkan ke besi, lalu merasakan nikmatnya ”terbang” diantara pepohonan yang rindang dan udara segar plus sehat tentu saja . Wow sensasinya luarrr biasa!!!, anda berani mencoba???

Satu yang masih sangat membekas di benak saya hingga saat ini adalah: ”bermain” di alam bebas butuh keberanian, dan ternyata tidak semua orang memiliki keberanian itu. Ada yang takut dengan ketinggian, ada yang tak berani dengan arus liar sungai, ada yang merasa tak tahan dengan dingin yang menusuk tulang dan lain sebagainya. Namun buat saya berpetualang di dalam bebas salah satunya memberi pemahaman akan arti sesungguhnya dari sebuah tantangan, bahwa tantangan tak akan pernah bisa kita lalui tanpa ada keberanian untuk mencoba melaluinya. Meski tentu saja resiko itu akan selalu ada. Namun resiko terbesar menurut saya adalah ketika kita kalah bertarung melawan rasa takut yang ada di dalam diri, begitu bukan yah?

Meski mungkin di saat-saat pertama kali untuk mulai melangkahkan kaki, pasti banyak sekali godaan yang mencoba menghalangi kita tuk meneruskan perjuangan menaklukkan tantangan itu. Lihat saja senyum di foto itu, betapa di sana terpancar sejuta kekhawatiran, senyum di atas ketakutan dan kengerian hehehe. Namun ketika kaki telah melangkah, pantang tuk mundur!!, Siaaaapp bergaya dulu, hehehe...

=======================================================================

NoTe: gambar ini diikutsertakan dalam The Amazing Picture di blognya PakDhe Cholik, mudah2an ini bisa masuk kategori :). Maaf ya Pakdhe kalau ini tidak termasuk amazing, tapi buat saya segini ini ya sudah amazing hehehe...

Saturday, June 05, 2010

Suara yang Paling Indah


Seorang tua yang tak berpendidikan tengah mengunjungi sebuah kota besar untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dibesarkan di sebuah dusun di pegunungan yang terpencil, bekerja keras membesarkan anak-anaknya, dan kini sedang menikmati kunjungan perdananya ke rumah anak-anaknya yang modern.

Suatu hari, sewaktu dibawa berkeliling kota, orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan telinga. Belum pernah ia mendengar suara yang begitu tidak enak didengar semacam itu di dusunnya yang sunyi. Dia bersikeras mencari sumber bunyi tersebut. Dia mengikuti sumber suara sumbang itu, dan dia tiba di sebuah ruangan di belakang sebuah rumah, dimana seorang anak kecil sedang belajar bermain biola. ”Ngiiiik! Ngooook!” berasal dari nada sumbang biola tersebut. Saat dia mengetahui dari putranya bahwa itulah yang dinamakan ”biola”, dia memutuskan untuk tidak akan pernah mau lagi mendengar suara yan g mengerikan tersebut.

Hari berikutnya, di bagian lain kota orang tua ini mendengar sebuah suara yang seolah membelai-belai telinga tuanya. Belum pernah ia mendengar melodi yang seindah itu di lembah gunungnya, dia mencoba mencari sumber suara tersebut. Ketika sampai ke sumbernya, dia tiba di ruangan depan sebuah rumah, dimana seorang perempuan tua, seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya. Seketika si orang tua ini menyadari kekeliruannya. Suara tidak mengenakkan yang di dengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola, bukan pula salah sang anak. Itu hanyalah proses belajar seorang anak yang belum bisa memainkan biolanya dengan baik.

Dengan kebijaksanaan polosnya, orang tua berfikir bahwa mungkin demikian pula halnya dengan agama. Sewaktu kita bertemu dengan seseorang yang menggebu-gebu terhadap kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanya lah proses belajar seorang pemula yang belum bisa memainkan agamanya dengan baik. Sewaktu kita bertemu dengan seorang bijak, seorang maestro agamanya, itu merupakan pertemuan indah yang menginspirasi kita selama bertahun-tahun, apapun kepercayaan mereka.

Namun ini bukanlah akhir dari cerita...

Hari ketiga, di bagian lain kota si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan dan kejernihan suara sang maestro biola. Menurut anda suara apakah itu??

Melebihi indahnya suara aliran air pegunungan pada musim semi, melebihi indahnya suara angin musim gugur di sebuah hutan, melebihi merdunya suara burung-burung pegunungan yang berkicau setelah hujan lebat. Bahkan melebihi keindahan hening pegunungan sunyi pada suatu malam musim salju. Suara apakah yang telah menggerakkan hati si orang tua melebihi apa pun itu?

Itu suara sebuah orkestra besar yang memainkan sebuah simfoni. Bagi si orang tua, alasan mengapa itulah suara terindah di dunia adalah: pertama, setiap anggota orkestra merupakan maestro alat musiknya masing-masing; dan kedua, mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain bersama-sama dalam harmoni.

”Mungkin ini sama dengan agama” fikir si orang tua. ”Marilah kita semua mempelajari hakikat kelembutan agama kita melalui palajaran-pelajaran kehidupan. Marilah kita semua menjadi maestro cinta kasih di dalam agama masing-masing. Lalu, setelah mempelajari agama kita dengan baik, lebih jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain, seperti halnya para anggota sebuah orkestra, bersama-sama dengan penganut agama lain dalam sebuah harmoni!”

Itulah suara yang paling indah...

=====================================================

Cerita ini diambil dari salah satu tulisan di dalam Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya yang ditulis oleh Ajahn Brahm. Buku ini adalah salah satu buku yang saya peroleh dari Kyaine.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin